
makna. Demikian juga istilah
mubtadi’ atau ahli bid’ah, ia bukan istilah yang bisa diobral ke
sembarang orang hanya gara-gara tidak satu kelompok pengajian atau tidak
satu ustadz atau bahkan gara-gara tidak satu organisasi. Sebagian orang
begitu mudah mengatakan secara mutlak bahwa si fulan adalah mubtadi’
atau si fulan bukan salafi hanya gara-gara dia melihatnya tidak ikut
bersama pengajian yang dia ikuti, atau hanya gara-gara kesalahan fikih
yang tidak sampai mengeluarkan dari manhaj salaf. Namun di sisi lain ada
juga orang yang terlalu mudah mengatakan bahwa si fulan itu salafi
hanya gara-gara pernah ikut satu organisasi dakwah dengannya. Oleh sebab
itu dalam masalah ini kita patut berhati-hati. Apalagi gara-gara
mengobral istilah-istilah ini tidak pada tempatnya akhirnya membuahkan
kekacauan di tengah kaum muslimin terutama di kalangan sesama da’i dan
penuntut ilmu. Untuk lebih jelasnya silakan renungkan ucapan Syaikh
Utsaimin ketika menjelaskan keadaan orang yang menyimpang dalam hal
asma’ wa shifat berikut ini.
Beliau
rahimahullah mengatakan, “Dengan demikian maka (kita katakan
bahwasanya) seluruh ahli bid’ah dalam perkara asma’ wa shifat yang
menyimpang dari pemahaman salafush shalih sebenarnya mereka itu belum
merealisasikan keimanan mereka kepada Allah dengan baik. Satu hal
diantara empat hal tadi (empat kandungan iman kepada Allah yaitu; iman
kepada wujud-Nya, uluhiyah-Nya, rububiyah-Nya dan asma’ wa shifat-Nya,
pent) yang tidak mereka punyai adalah bagian keempat; yaitu beriman
dengan benar terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allah, karena mereka itu
tidak merealisasikan keimanan kepada-Nya dalam hal ini. Mereka itu
bersalah dan menyelisihi jalan kaum salaf. Jalan yang mereka tempuh itu
tidak syak lagi memang sesat. Akan tetapi tidak secara langsung orang
yang meyakininya bisa dicap sebagai orang sesat sampai hujjah ditegakkan
kepadanya, dan ternyata dia masih bersikeras mempertahankan kesalahan
dan kesesatannya maka dia adalah seorang mubtadi’ (ahli bid’ah) dalam
masalah yang bertentangan dengan kebenaran itu meskipun dia adalah
seorang salafi dalam masalah yang lain. Oleh sebab itu tidak boleh dia
digelari sebagai mubtadi’ secara mutlak, dan juga tidak boleh dia
digelari sebagai seorang salafi secara mutlak. Akan tetapi boleh
dikatakan bahwasanya dia itu salafi dalam masalah-masalah yang dia
bersesuaian dengan salaf dan dia juga seorang mubtadi’ dalam
masalah-masalah yang dia selisihi dari kaum salaf.” (Syarah Arba’in,
hal. 36)
Nah, dari sepenggal pemaparan dari beliau ini maka sudah semestinya
para penuntut ilmu atau bahkan para da’i menjaga lisan mereka untuk
tidak mudah-mudah mencap kelompok ini atau orang itu bukan salafi atau
bahkan berani menyatakan dia sebagai ahli bid’ah sementara hujjah belum
ditegakkan kepadanya. Sekali lagi perlu kita ingatkan perkara yang
sangat penting ini karena pada asalnya hukum seorang muslim itu adalah
selamat aqidah dan manhajnya sampai tampak ada indikasi jelas
penyimpangannya dari manhaj salaf (silakan baca Mujmal Ushul Ahlis
Sunnah karya Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql) Dan sebagaimana
kita ketahui bersama berdasarkan dalil-dalil yang ada bahwa kebanyakan
orang itu dihinggapi penyakit tidak tahu alias jahil. Lalu apakah yang
sudah kita lakukan untuk mengikis kejahilan diri kita dan juga mereka?
Cobalah kita bandingkan dengan gelar-gelar mengerikan yang mungkin
pernah kita sematkan pada wajah-wajah saudara kita sesama ahlus sunnah?
Atau barangkali kita lah yang salah paham sedangkan saudara kita lah
yang benar. Duhai adakah orang yang mau mengambil pelajaran!? Wallahul muwaffiq.
Disusun oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel http://www.muslim.or.id
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama