BERSYUKUR LAH DENGAN APA YANG DIBERIKAN ALLAH

dan Umar bin Khattab.
“Mengapa kalian keluar rumah,” tanya Nabi.
Rasulullah SAW sendiri pergi keluar rumah juga karena lapar. Lalu,
beliau mengajak dua sahabatnya itu datang ke rumah seorang sahabat
bernama Abu Ayyub al-Anshari.
Sang tuan rumah, Abu Ayyub, bergembira ria oleh kedatangan tamu-tamu
yang sangat dihormatinya itu. Abu Ayyub menyuguhkan roti, daging, kurma
basah dan kering (tamar).
Setelah mereka menyantap suguhan itu, Nabi SAW dengan mata berkaca-kaca berkata, “Kenikmatan ini akan ditanya oleh Allah kelak di hari Kiamat.” …. (HR Muslim, Thabrani, dan Baihaqi)
Kisah ini mengajarkan kepada kita kewajiban syukur atas berbagai
kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita, baik kecil maupun
besar.
Dengan syukur dan mengingat Allah Sang Pemberi nikmat maka kegiatan
yang tampaknya sepele, seperti makan dan minum, dapat bernilai ibadah
dan menjadi bagian dari bentuk kepatuhan kepada Allah SWT (min alwan
al-tha’ah).
Air mata Nabi, dalam kisah ini, bisa dipahami sebagai ekspresi
keprihatinan beliau atas kenyataan bahwa manusia pada umumnya kurang
bersyukur, tetapi kufur nikmat.
Kalau kenikmatan kecil-kecilan saja seperti makan dan minum wajib
disyukuri, bagaimana dengan kenikmatan yang besar-besar seperti nikmat
iman, kesehatan, dan kekayaan (yang berlimpah)?
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu siarkan” …. (QS al-Dhuha [93]: 11)
Menurut pakar tafsir al-Ishfahani, syukur bermakna mengerti dan
menyadari nikmat, lalu menampakkannya melalui zakat, infak, dan sedekah.
Syukur juga berarti mempergunakan nikmat sesuai maksud dan tujuan
diberikannya nikmat itu.
Maka, pemberian fasilitas nagara untuk pelaksanaan tugas tak boleh
diselewengkan untuk keperluan pribadi dan golongan. Ini salah satu
bentuk kekufuran.
Syukur juga bermakna mengembangkan nikmat (potensi baik) agar tumbuh
dan berkembang lebih produktif. Maka, sikap pembiaran terhadap kekayaan
alam dan budaya kita yang melimpah sebagai anugerah Allah, merupakan
bentuk kekufuran yang lain lagi.
Kita semua disuruh bersyukur, bukan kufur. Namun, pada kenyataannya, tak semua orang pandai bersyukur.
Menurut Imam Ghazali, agar menjadi manusia yang penuh syukur, kita
harus sadar bahwa semua anugerah dan nikmat yang kita miliki sejatinya
datang dan berasal dari Allah.
Konglomerat seperti Qarun menjadi kufur, karena merasa semua
kekayaannya yang sangat besar itu diperoleh karena kehebatannya sendiri.
Ketika ditanya tentang kekayaannya, Qarun berkata,
“Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku” …. (QS al-Qashash [28]: 78)Berlainan dengan Qarun, Nabi Sulaiman AS, dengan kuasa dan kekayaan yang jauh lebih besar, justru menyandarkan semua kuasa dan kekayaannya itu kepada Allah SWT semata.
“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (kufur) akan nikmat-Nya” …. (QS al-Naml [27]: 40)
Luas Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala
Sungguh betapa besar dan banyak ni’mat yg telah dikaruniakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepada kita. Setiap hari silih berganti kita
merasakan satu ni’mat kemudian beralih kepada ni’mat yg lain.
Di mana kita terkadang tdk membayangkan sebelum akan terjadi dan
mendapatkannya. Sangat besar dan banyak krn tdk bisa utk dibatasi atau
dihitung dgn alat secanggih apapun di masa kini.
Semua ini tentu mengundang kita utk menyimpulkan betapa besar karunia
dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. dlm
realita kehidupan kita menemukan keadaan yg memprihatinkan. Yaitu
mayoritas manusia dlm keingkaran dan kekufuran kepada Pemberi Nikmat.
Puncak adl menyamakan pemberi ni’mat dgn makhluk yg keadaan makhluk
itu sendiri sangat butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentu hal ini
termasuk dari kedzaliman di atas kedzaliman sebagaimana dijelaskan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala di dlm firman-Nya:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguh kesyirikan itu adalah kedzaliman yang paling besar”
Kendati demikian Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap memberikan kepada
mereka sebagian karunia-Nya disebabkan “kasih sayang-Nya mendahului
murka-Nya” dan membukakan bagi mereka pintu utk bertaubat. Oleh sebab
itu tdk ada alasan bagi hamba ini untuk:
- Ingkar dan kufur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dgn makhluk-Nya yg sangat butuh kepada-Nya.
- Menyombongkan diri serta angkuh dgn tdk mau melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya atau tdk mau menerima kebenaran dan mengentengkan orang lain.
- Tidak mensyukuri pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala.
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ
“Dan ni’mat apapun yg kalian dapatkan adl datang dari Allah”
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
“Dan jika kalian menghitung ni’mat Allah niscaya kalian tdk akan sanggup”
Pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Satu Tujuan yg Mulia
Dari sekian ni’mat yg telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada kita mari kita mencoba menghitungnya. Sudah berapakah dlm
kalkulasi kita ni’mat yg telah kita syukuri dan dari sekian ni’mat yg
telah kita pergunakan utk bermaksiat kepada-Nya.
Jika kita menemukan kalkulasi yg baik mk pujilah Allah Subhanahu wa
Ta’ala krn Dia telah memberimu kesempatan yg baik. Jika kita menemukan
sebalik mk janganlah engkau mencela melainkan dirimu sendiri.
Setiap orang bisa mengatakan bahwa semua yg ada di dunia ini
merupakan pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tahukah anda apa rahasia
di balik pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut?
Ketahuilah bahwa keni’matan yg berlimpah ruah bukanlah tujuan
diciptakan manusia dan bukan pula sebagai wujud cinta Allah Subhanahu wa
Ta’ala kepada manusia tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia utk sebuah kemuliaan
bagi dan menjadikan segala ni’mat itu sebagai perantara utk menyampaikan
kepada kemuliaan tersebut. Tujuan itu adl utk beribadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala saja sebagaimana hal ini disebutkan dlm firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku”
Bagi orang yg berakal akan berusaha mencari rahasia di balik
pemberian Allah Subhanahu wa Ta’ala yg berlimpah ruah tersebut. Setelah
dia menemukan jawaban yaitu utk beribadah kepada-Nya saja mk dia akan
mengetahui pula bahwa dunia bukan sebagai tujuan.
Sebagai bukti yaitu ada kematian setelah hidup ini dan ada kehidupan
setelah kematian diiringi dgn persidangan dan pengadilan serta
pembalasan dari Allah.
Itulah kehidupan yg hakiki di akhirat nanti. Kesimpulan seperti ini akan mengantarkan kepada:
- Dunia bukan tujuan hidup.
- Keni’matan yg ada pada bukan tujuan diciptakan manusia akan tetapi sebagai perantara utk suatu tujuan yg mulia.
- Semangat beramal utk tujuan hidup yg hakiki dan kekal.
Ibnu Qudamah rahimahullahu menjelaskan
“Ketahuilah bahwa ni’mat itu ada dua bentuk ni’mat yg menjadi tujuan dan ni’mat yg menjadi perantara menuju tujuan“Nikmat yg merupakan tujuan adl kebahagiaan akhirat dan nilai akan kembali kepada empat perkara.
- Pertama: Kekekalan dan tdk ada kebinasaan setelah
- Kedua: Kebahagian yg tdk ada duka setelahnya
- Ketiga: Ilmu yg tdk ada kejahilan setelahnya
- Keempat: Kaya yg tdk ada kefakiran setelahnya.
- Pertama: Keutamaan diri sendiri seperti keimanan dan akhlak yg baik.
- Kedua: Keutamaan pada badan seperti kekuatan dan kesehatan dan sebagainya.
- Ketiga: Keutamaan yg terkait dgn badan seperti harta kedudukan dan keluarga.
- Keempat: Sebab-sebab yg menghimpun ni’mat-ni’mat tersebut dgn segala keutamaan seperti hidayah bimbingan kebaikan pertolongan dan semua ni’mat ini adl besar.”
“Ketahuilah bahwa segala yg dicari oleh tiap orang adl ni’mat. Akan tetapi keni’matan yg hakiki adl kebahagiaan di akhirat kelak dan segala ni’mat selain akan lenyap“
Semua perkara yg disandarkan kepada kita ada empat macam:
- Pertama: Sesuatu yg bermanfaat di dunia dan di akhirat seperti ilmu dan akhlak yg baik. Inilah keni’matan yg hakiki.
- Kedua: Sesuatu yg memudaratkan di dunia dan di akhirat. Ini merupakan bala’ yg hakiki.
- Ketiga: Bermanfaat di dunia akan tetapi memudaratkan di akhirat seperti berlezat-lezat dan mengikuti hawa nafsu. Ini sesungguh bala bagi orang yg berakal sekalipun orang jahil menganggap ni’mat. Seperti seseorang yg sedang lapar lalu menemukan madu yg bercampur racun. Bila tdk mengetahui dia menganggap sebuah ni’mat dan jika mengetahui dia menganggap sebagai malapetaka.
- Keempat: Memudaratkan di dunia namun akan bermanfaat di akhirat sebagai ni’mat bagi orang yg berakal. Contoh obat bila dirasakan sangat pahit dan pada akhir akan menyembuhkan .
Maka, bersyukurlah, bukan kufur! Wallahu a`lam
Sumber : Dr A llyas Ismail – republika.co.id
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama