
Beberapa Macam Bentuk Jimat di Masyarakat:
1. Batu Akik, Keris, Rajah, rantai babi, mustika, benda-benda bertuah, dll
2. Jimat keberuntungan
3. Jimat penghasilan
4. Jimat penglaris dagangan
5. Jimat kekuatan dan keberanian
6. Jimat kebal senjata tajam
7. Jimat perlindungan diri
8. Jimat perlindungan kendaraan dan rumah
9. Jimat kecintaan
10. Jimat keselamatan, dll
Bagaimana Hukum Jimat dalam Islam?
Ketahuilah, mengenakan jimat dan mempercayainya dapat memberikan
manfaat atau melindungi dari bahaya dan menolak bala’ adalah syirik
besar yang menyebabkan pelakunya murtad, keluar dari Islam. Adapun
mengenakan jimat dan meyakini Allah ta’ala yang memberikan manfaat atau
melindungi dari bahaya dan menolak bala’, sedang jimat itu hanya sebagai
sebab adalah syirik kecil, termasuk dosa besar yang membinasakan.
Mempercayai jimat termasuk syirik besar karena dalam keyakinan tersebut
terkandung makna syirik, yaitu penyamaan antara Allah ta’ala dengan
makhluk dalam perkara yang merupakan kekhususan bagi Allah ta’ala, dalam
hal ini adalah memberikan manfaat, melindungi dari bahaya dan menolak
bala’.
DALIL-DALIL UMUM PENGHARAMAN JIMAT
Allah ta’ala menegaskan,
قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنفَعُكُمْ شَيْئًا وَلا يَضُرُّكُمْ
“Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah
sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula)
memberi mudarat kepada kamu?” [Al-Anbiya’: 66]
Juga firman-Nya,
قُلِ ادْعُواْ الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً
“Katakanlah: “Panggillah mereka yang kamu anggap sesembahan selain
Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan
bahaya dari padamu dan tidak pula memindahkannya.” [Al-Isra’: 56]
Juga firman-Nya,
أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ أَرَادَنِيَ
اللَّهُ بِضُرٍّ هَلْ هُنَّ كَاشِفَاتُ ضُرِّهِ أَوْ أَرَادَنِي بِرَحْمَةٍ
هَلْ هُنَّ مُمْسِكَاتُ رَحْمَتِهِ قُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ عَلَيْهِ
يَتَوَكَّلُ الْمُتَوَكِّلُونَ
“Katakanlah: “Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru
selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudaratan kepadaku,
apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan kemudaratan itu, atau
jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka dapat menahan
rahmat-Nya?. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nya lah
bertawakal orang-orang yang berserah diri.” [Az-Zumar: 38]
Ayat-ayat di atas semuanya menunjukan bahwa hanya Allah ta’ala yang
mampu memberikan manfaat dan menimpakan bahaya, maka hal itu merupakan
sifat rububiyah Allah ta’ala yang harus diyakini oleh setiap hamba,
sehingga apabila seseorang meyakini hal itu ada pada selain-Nya seperti
pada malaikat, nabi, wali, jin dan jimat-jimat maka berarti dia telah
menyekutukan Allah tabaraka wa ta’ala.
Al-Imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
لا تستطيع شيئا من الأمر وذكر ابن أبي حاتم هاهنا حديث قيس بن الحجاج عن
حنش الصنعاني عن ابن عباس مرفوعا احفظ الله يحفظك احفظ الله تجده تجاهك
تعرف إلى الله في الرخاء يعرفك في الشدة إذا سألت فاسأل الله وإذا استعنت
فاستعن بالله، واعلم أن الأمة لو اجتمعوا على أن يضروك بشيء لم يكتبه الله
عليك لم يضروك ولو اجتمعوا على أن ينفعوك بشيء لم يكتبه الله لك لم ينفعوك
جفت الصحف ورفعت الأقلام واعمل لله بالشكر في اليقين واعلم أن الصبر على ما
تكره خير كثير، وأن النصر مع الصبر، وأن الفرج مع الكرب وأن مع العسر يسرا
“Semua makhluk yang disembah tersebut tidak sedikitpun memiliki
kemampuan dalam menentukan perkara (manfaat maupun mudarat). Dan di
sini, Ibnu Abi Hatim menyebutkan hadits Qois bin Al-Hajjaj, dari Hanasy
As-Shon’ani, dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
“Jagalah (ketentuan-ketentuan) Allah niscaya Dia akan menjagamu,
jagalah (batasan-batasan) Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya selalu
berada di depanmu (menolongmu). Kenali Allah dalam kelapangan niscaya
Dia akan mengenalmu (menolongmu) dalam kesusahan. Jika kamu meminta maka
mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan maka mohonlah
kepada Allah.
Dan ketahuilah, andaikata seluruh umat bersatu untuk menimpakan suatu
bahaya kepadamu yang tidak Allah tentukan menimpamu maka mereka tidak
akan mampu melakukannya. Dan andaikan mereka bersatu untuk memberikan
suatu manfaat kepadamu yang tidak Allah ta’ala tentukan untukmu maka
mereka tidak akan mampu melakukannya. Telah kering catatan-catatan
(takdir) dan pena-pena telah diangkat.
Dan lakukanlah amalan hanya bagi Allah dengan kesyukuran dalam
keyakinan. Dan ketahuilah, kesabaran atas sesuatu yang engkau benci
adalah kebaikan yang banyak, dan pertolongan itu selalu bersama
kesabaran, kelapangan bersama kesusahan, dan bersama kesulitan itu ada
kemudahan”[1].” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/100]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
فهذه الآية وأمثالها تبطل تعلق القلب بغير الله فى جلب أو دفع ضر وأن ذلك شرك بالله
“Ayat ini dan ayat-ayat yang semisalnya membatilkan ketergantungan
hati kepada selain Allah ta’ala dalam meraih kemanfaatan atau menolak
kemudaratan, dan bahwasannya hal itu termasuk syirik kepada Allah
ta’ala.” [Fathul Majid, hal. 111]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والشاهد من هذه الآية أن هذه الأصنام لا تنفع أصحابها لا بجلب نفع ولا
بدفع ضر فليست أسبابا لذلك فيقاس عليها كل ما ليس بسبب شرعي أو قدري فيعتبر
اتخاذه سببا إشراكا بالله
“Dan syahid dari ayat ini adalah bahwa patung-patung yang mereka
sembah itu tidak sedikitpun bisa memberi manfaat kepada para
penyembahnya; tidak bisa mendatangkan manfaat dan tidak pula bisa
menolak mudarat. Jadi, patung-patung itu bukanlah sebab-sebab untuk
mendatangkan manfaat dan menolak mudarat, maka dikiaskan di atasnya
semua yang bukan sebab syar’i dan qodari, menjadikannya sebagai sebab
adalah perbuatan menyekutukan Allah ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/168]
[FAIDAH PENTING DALAM MASALAH “SEBAB”]
Penjelasan Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah di atas merupakan
kaidah penting dalam memahami tauhid dan syirik. Bahwa tauhid adalah
bergantung sepenuhnya kepada Allah ta’ala, sedangkan mengambil sebab
untuk meraih suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan tidak dilarang
dalam Islam, bahkan dianjurkan. Tetapi dengan syarat, sebab tersebut
adalah sebab syar’i atau sebab qodari.
Sebab syar’i maksudnya adalah sebab yang dijelaskan oleh dalil
syar’i. Contohnya, membaca surat Al-Fatihah untuk orang sakit adalah
sebab kesembuhannya.
Adapun yang dimaksud dengan sebab qodari adalah sebab yang Allah
ta’ala ciptakan sebagai sebab di alam ini dan dapat diketahui dengan dua
cara: Pertama, dengan dalil syar’i dan Kedua, dengan penelitian ilmiah
dan percobaan.
Contoh yang dapat diketahui dengan dalil syar’i, seperti madu,
habbatus sauda’, kencing unta untuk obat sakit perut, bekam dan
lain-lain adalah sebab-sebab kesembuhan.
Contoh yang dapat diketahui dengan penelitian ilmiah dan percobaan,
seperti umumnya obat-obat antibiotik kedokteran modern yang merupakan
sebab untuk menekan atau menghentikan perkembangan bakteri atau
mikroorganisme berbahaya yang berada di dalam tubuh.
Maka menjadikan sesuatu sebagai sebab, padahal ia bukanlah sebab
syar’i dan bukan pula sebab qodari adalah perbuatan syirik. Contohnya
sangat banyak sekali, seperti perbuatan sebagian orang yang mengambil
batu-batuan di kuburan orang shalih, potongan kiswah penutup ka’bah dan
benda-benda lainnya untuk dijadikan jimat adalah termasuk perbuatan
menyekutukan Allah ta’ala. Karena benda-benda tersebut bukanlah sebab
syari’i maupun qodari.
Kesyirikan di sini pun bertingkat, bisa jadi syirik besar dan bisa
jadi syirik kecil. Syirik besar jika seseorang meyakini bahwa jimat
dapat melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya tersebut. Dan
syirik kecil jika dia meyakini jimat itu hanyalah sebab, sedang Allah
ta’ala Dialah yang melindunginya dari bahaya atau menghilangkan bahaya
tersebut, karena apabila seseorang meyakini sesuatu sebagai sebab
padahal Allah ta’ala tidak menetapkannya sebagai sebab, baik syar’i
maupun qodari, maka seakan-akan dia telah menyamakan dirinya dengan
Allah ta’ala dalam menentukan sesuatu sebagai sebab.
Dan manusia dalam masalah sebab terbagi menjadi tiga golongan:
Pertama: Mereka yang menafikan sebab, mereka adalah orang-orang yang
menafikan sifat hikmah Allah ta’ala, seperti kelompok Al-Jabriyah dan
Al-Asy’ariyah.
Kedua: Mereka yang berlebih-lebihan dalam menetapkan sebab sampai
mereka jadikan yang bukan sebab sebagai sebab, mereka adalah kebanyakan
penganut khurafat dari kalangan Shufiyah dan yang semisalnya.
Ketiga: Mereka yang mempercayai adanya sebab-sebab yang memiliki
pengaruh dengan izin Allah ta’ala, akan tetapi mereka tidak menetapkan
sesuatu sebagai sebab kecuali ditetapkan oleh Allah ta’ala, apakah sebab
syar’i atau qodari. Inilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
[Lihat Al-Qoulul Mufid, 1/164-165]
DALIL-DALIL KHUSUS PENGHARAMAN JIMAT
Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ
إِلَيْهِ رَهْطٌ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ وَاحِدٍ فَقَالُوا يَا
رَسُولَ اللهِ بَايَعْتَ تِسْعَةً وَتَرَكْتَ هَذَا قَالَ إِنَّ عَلَيْهِ
تَمِيمَةً فَأَدْخَلَ يَدَهُ فَقَطَعَهَافَبَايَعَهُ وَقَالَ مَنْ عَلَّقَ
تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Bahwasannya telah datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam sepuluh orang (untuk melakukan bai’at), maka Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam membai’at sembilan orang dan tidak
membai’at satu orang. Maka mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa
engkau membai’at sembilan dan meninggalkan satu orang ini?” Beliau
bersabda, “Sesungguhnya dia mengenakan jimat.” Maka orang itu memasukkan
tangannya dan memotong jimat tersebut, barulah Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam membai’atnya dan beliau bersabda, “Barangsiapa yang mengenakan
jimat maka dia telah menyekutukan Allah”.” [HR. Ahmad, no. 17422.
Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Isnadnya kuat,” dan dishahihkan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 492]
Dalam riwayat lain, Sahabat yang mulia ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu’anhu berkata, aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa yang mengenakan jimat maka Allah ta’ala tidak akan
menyempurnakan hajatnya, dan barangsiapa yang mengenakan wada’ah (jimat
batu pantai) maka Allah ta’ala tidak akan memberikan ketenangan
kepadanya.” [HR. Ahmad, no. 17404. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
berkata, “Hadits hasan.”]
Sahabat yang mulia Imron bin Al-Hushain radhiyallahu’anhu menuturkan,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى
عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا
هَذِهِ قَالَ مِنَ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاَّ
وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا
أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Bahwasannya Nabi shallallahu’alaihi wa sallam melihat di tangan
seorang laki-laki terdapat gelang dari tembaga, maka beliau berkata,
“Celaka engkau, apa ini?” Orang itu berkata, “Untuk menangkal penyakit
yang dapat menimpa tangan.” Beliau bersabda, “Ketahuilah, benda itu
tidak menambah apapun kepadamu kecuali kelemahan, keluarkanlah benda itu
darimu, karena sesungguhnya jika engkau mati dan benda itu masih
bersamamu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya”[2].” [HR.
Ahmad, no. 20000]
Sahabat yang mulia Abu Basyir Al-Anshori radhiyallahu’anhu berkata,
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ
أَسْفَارِهِ قَالَ عَبْدُ اللهِ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي
مَبِيتِهِمْ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم رَسُولاً أَنْ
لاَ يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ
قِلاَدَةٌ إِلاَّ قُطِعَتْ
“Bahwasannya beliau pernah bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam pada salah satu perjalanan beliau –berkata Abdullah (rawi): Aku
mengira beliau mengatakan-, ketika itu manusia berada pada tempat
bermalam mereka, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutus
seseorang untuk menyampaikan, “Janganlah tertinggal di leher hewan
tunggangan sebuah kalung dari busur panah atau kalung apa saja kecuali
diputuskan”.” [HR. Al-Bukhari no. 3005 dan Muslim no. 5671]
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqoloni Asy-Syafi’i rahimahullah menyebutkan diantara penjelasan ulama terhadap hadits di atas,
أنهم كانوا يقلدون الإبل أوتار القسي لئلا تصيبها العين بزعمهم فأمروا
بقطعها اعلاما بأن الأوتار لا ترد من أمر الله شيئا وهذا قول مالك قلت وقع
ذلك متصلا بالحديث من كلامه في الموطأ وعند مسلم وأبي داود وغيرهما قال
مالك أرى أن ذلك من أجل العين ويؤيده حديث عقبة بن عامر رفعه من علق تميمة
فلا أتم الله له أخرجه أبو داود أيضا
“Bahwasannya di zaman Jahiliyah dahulu mereka memakaikan
kalung-kalung bususr panah keras terhadap onta mereka agar tidak terkena
penyakit ‘ain menurut sangkaan mereka. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam memerintahkan mereka untuk memutuskan kalung-kalung tersebut
sebagai pengajaran kepada mereka bahwa jimat-jimat itu tidak sedikitpun
dapat menolak ketentuan Allah ta’ala. Ini adalah pendapat Al-Imam Malik
rahimahullah tentang makna hadits ini.
Aku (Al-Hafizh Ibnu Hajar) berkata, pendapat tersebut beliau sebutkan
setelah meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Muwathho’, juga
disebutkan oleh Muslim, Abu Daud dan selainnya. Malik berkata,
“Menurutku mereka menggunakan jimat itu untuk menangkal penyakit ‘ain.”
Dan yang mendukung makna tersebut adalah hadits ‘Uqbah bin ‘Amir
radhiyallahu’anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang bergantung kepada
jimat maka Allah ta’ala tidak akan menyempurnakan urusannya.”Juga
diriwayatkan oleh Abu Daud.” [Fathul Bari, 6/142]
Sahabat yang mulia Ruwaifi’ bin Tsabit radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda kepadaku,
يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِى فَأَخْبِرِ
النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا أَوِ
اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ فَإِنَّ مُحَمَّدًا -صلى الله
عليه وسلم- مِنْهُ بَرِىءٌ
“Wahai Ruwaifi’, bisa jadi engkau akan hidup lama sepeninggalku, maka
kabarkanlah kepada manusia, bahwasannya siapa yang mengikat jenggotnya,
atau menggunakan kalung (jimat) dari busur panah, atau beristinja
dengan kotoran hewan atau tulang, maka Muhammad –shallallahu’alaihi wa
sallam- berlepas diri darinya.” [HR. Abu Daud, no. 36, Shahih Abi Daud,
no. 27]
Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, aku
mendengar Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
“Sesungguhnya mantra-mantra, jimat-jimat dan pelet itu syirik.” [HR.
Ahmad, no. 3615, Abu Daud no. 1776, 3883 dan Ibnu Majah, no. 3530.
Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata, “Shahih lighairihi,” dan
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no. 2854]
Sahabat yang mulia Abu Ma’bad Abdullah bin ‘Ukaim Al-Juhani
radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang bergantung kepada sesuatu (makhluk seperti jimat
dan yang lainnya) maka dia akan dibiarkan bersandar kepada makhluk
tersebut (tidak ditolong oleh Allah ta’ala).” [HR. Ahmad, no. 18781,
18786 dan At-Tirmidzi, no. 2072. Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata,
“Hasan ligairihi,” dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ghayatul
Marom, no. 297]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan rahimahumallah berkata,
التعلق يكون بالقلب ويكون بالفعل ويكون بهما وكل إليه أي وكله الله إلى
ذلك الشئ الذي تعلقه فمن تعلق بالله وأنزل حوائجه إليه والتجأ إليه وفوض
أمره إليه وكفاه وقرب إليه كل بعيد ويسر له كل عسير ومن تعلق بغيره أو سكن
إلى رأيه وعقله ودوائه وتمائمه ونحو ذلك وكله الله إلى ذلك وخذله وهذا
معروف بالنصوص والتجارب قال تعالى ومن يتوكل على الله فهو حسبه
“Bergantung kepada sesuatu itu bisa jadi dengan hati, bisa pula
dengan perbuatan dan bisa pula dengan hati dan perbuatan sekaligus.
Allah ta’ala menjadikan pelakunya bergantung kepada sesuatu tersebut,
maksudnya adalah Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada sesuatu yang
dia jadikan sebagai tempat bergantung.
Maka barangsiapa yang bergantung kepada Allah ta’ala, memohon
hajat-hajatnya kepada-Nya, bersandar kepada-Nya, memasrahkan urusannya
kepada-Nya niscaya Allah ta’ala akan mencukupinya, mendekatkan baginya
setiap yang jauh, memudahkan baginya semua yang sulit.
Dan barangsiapa yang bergantung kepada selain-Nya atau lebih tenang
(ketika bersandar) kepada pendapatnya, akalnya, obatnya, jimat-jimatnya
dan yang semisalnya maka Allah ta’ala jadikan dia bergantung kepada
makhluk-makhluk tersebut dan Allah ta’ala menghinakannya. Dan ini sudah
dimaklumi berdasarkan dalil-dalil dan kenyataan. Allah ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah maka cukuplah Allah sebagai penolongnya.” [Ath-Tholaq: 3].” [Fathul Majid, hal. 124]
Wallahu A’lam.
_____________________________________________________________________
[1] HR. Ahmad (1/293) dan At-Tirmidzi (2516) dari jalan Al-Laits bin
Sa’ad, dari Qois bin Al-Hajjaj. Dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan
shahih.”
[2] Sanad hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 1029). Akan tetapi
terdapat riwayat lain sebagai penguat yang dkeluarkan oleh Al-Khallal
dal As-Sunnah (5/64 no. 1623) dan penguat lain yang diriwayatkan oleh
Ibnu Batthah dalam Al-Ibanah Al-Kubro (2/860 no. 1172), Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (2/99 no. 1439 dan 8/167 no. 7700), sebagaimana
dalam Tanbihat ‘ala Kutubi Takhrij Kitabit Tauhid (hal. 3-6).
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama