Derajat ihsan merupakan tingkatan
tertinggi keislaman seorang hamba. Tidak semua orang bisa meraih derajat
yang mulia ini. Hanya hamba-hamba Allah yang khusus saja yang bisa
mencapai derajat mulia ini. Oleh karena itu, merupakan keutamaan
tersendiri bagi hamba yang mampu meraihnya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla
menjadikan kita termasuk di dalamnya.
Antara Islam, Iman, dan Ihsan
Suatu ketika Malaikat Jibril ‘alaihis sallam datang di majelis
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam rupa
manusia, kemudian menanyakan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam beberapa pertanyaan. Di antara pertanyaannya adalah tentang makna
islam, iman, dan ihsan. Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam menjawabnya dan dibenarkan oleh Jibril. Berdasarkan hadist ini
[1], para ulama membagi agama Islam menjadi tiga tingkatan yaitu islam,
iman, dan ihsan.
Tingkatan agama yang paling tinggi adalah ihsan, kemudian iman, dan
paling rendah adalah islam. Kaum muhsinin (orang-orang yang memiliki
sifat ihsan) merupakan hamba pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih.
Oleh sebab itu, sebagian ulama menjelaskan jika ihsan sudah terwujud
berarti iman dan islam juga sudah terwujud pada diri seorang hamba.
Jadi, setiap muhsin pasti mukmin dan setiap mukmin pasti muslim. Namun
tidak berlaku sebaliknya. Tidak setiap muslim itu mukmin dan tidak
setiap mukmin itu mencapai derajat muhsin. Pelaku ihsan adalah hamba
pilihan dari hamba-hamba Allah yang shalih. Oleh karena itu, di dalam al
Quran disebutkan hak-hak mereka secara khusus tanpa menyebutkan hak
yang lainnya.[2]
Makna Ihsan
Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah
(berbuat buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan
yang ma’ruf dan menahan diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada
hamba Allah yang lainnya baik melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya,
maupun raganya.
Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada
Allah adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadist Jibril :
قَالَ فَأَخْبِرْنِى عَنِ الإِحْسَانِ. قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ
كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »
“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah
Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya
maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).[3]
Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu
rukun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan
yaitu ‘Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan
jika engkau tidak mampu melihat-Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah
pengertian ihsan dan rukunnya.
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan
mencakup dua macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan
dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah
maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa
diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan
menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu
yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada
orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah
misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar
kewajiban seseorang. Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah
berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek kepada kita, baik dengan
ucapan atau perbuatannya.[4]
Tingkatan Ihsan
Syaikh Sholeh Alu Syaikh hafidzahullah menmberikan penjelasan bahwa inti
yang dimaksud dengan ihsan adalah membaguskan amal. Batasan minimal
seseorang dapat dikatakan telah melakukan ihsan di dalam beribadah
kepada Allah yaitu apabila di dalam memperbagus amalannya niatnya ikhlas
yaitu semata-mata mengharap pahala-Nya dan sesuai dengan sunnah Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah kadar ihsan yang wajib yang harus
ditunaikan oleh setiap muslim yang akan membuat keislamannya menjadi
sah. Adapun kadar ihsan yang mustahab (dianjurkan) di dalam beribadah
kepada Allah memiliki dua tingkatan, yaitu :
Pertama, tingkatan muroqobah.
Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan
oleh Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi
shalallahu ‘alaihi wa sallam فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ
يَرَاكَ (jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu).Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu
memperhatikan sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya.
Tingkatan inilah yang dimiliki oleh kebanyakan orang. Apabila seseorang
mengerjakan shalat, dia merasa Allah memperhatikan apa yang dia lakukan,
lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini sebagaimana Allah
firmankan dalam surat Yunus,
وَمَاتَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَاتَتْلُوا مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ
وَلاَتَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ
تُفِيضُونَ فِيهِ …{61}
“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari
Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami
menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)
Kedua, tingkatan musyahadah
Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya
dengan sifat-sifat tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاه (‘Kamu menyembah Allah seakan-akan
kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah,
seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di
sini bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak
sebagaimana keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan
tingkatan musyahadah adalah melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan
kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan sifat-sifat Allah, yakni
dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk. Apabila
seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap
sifat-sifat Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah
pada nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam
derajat ihsan.[5]
Keutamaan Ihsan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ {128}
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. An Nahl: 128).
Dalam ayat ini Allah menunjukkan keutamaan seorang muhsin yang bertakwa
kepada Allah, yang tidak meninggalkan kewajibannya dan menjauhi segala
yang haram. Kebersamaan Allah dalam ayat ini adalah kebersamaan yang
khusus. Kebersamaan khusus yakni dalam bentuk pertolongan, dukungan, dan
petunjuk jalan yang lurus sebagai tambahan dari kebersamaan Allah yang
umum (yakni pengilmuan Allah). Makna dari firman Allah وَالَّذِينَ هُم
مُّحْسِنُونَ ( dan orang-orang yang berbuat ihsan) adalah yang
mentaati Rabbnya, yakni dengan mengikhlaskan niat dan tujuan dalam
beribadah serta melaksankanan syariat Allah dengan petunjuk yang telah
dijelasakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.[6]
Dalam ayat lain Allah berfirman,
وَأَنفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ {195}
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah,
karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat ihsan.” (Al
Baqarah:195)
Ketika menafsirkan ayat ini Syaikh As Sa’di menjelaskan bahwa ihsan pada
ayat ini mecakup seluruh jenis ihsan. Hal ini karena tidak ada
pembatasan pada ayat ini. Maka termasuk di dalamnya ihsan dengan harta,
kemuliaan, pertolongan, perbuatan memrintahkan yang ma’ruf dan mencegah
dari yang mungkar, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, dan perbuatan
ihasan lain yng diperintahkan oleh Allah. Termasuk di dalamnya juga
adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Hal ini sebagaimnan sabda
Nabi ‘Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu
tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.. Barangsiapa yang
memiliki sifat ihsan tersebut, maka dia tergolong orang-orang yang Allah
terangkan dalam firman-Nya لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى
وَزِيَادَةٌ “Bagi orang-orang yang berbuat ihsan, ada pahala yang
terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah ta’ala)” (QS Yunus:
26) Allah akan bersamanya, memberinya petunjuk, membimbingnya, serta
menolongnya dalam setiap urusannya.[7].
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ اْلأَخِرَةَ فَإِنَّ
اللهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا {29}
“Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya
serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah
menyediakan bagi siapa yang berbuat ihsan (kebaikan) diantaramu pahala
yang besar.” (QS. Al Ahzab: 29)
Penerapan Makna Ihsan dalam Kehidupan
Pembaca yang dirahmati Allah, sikap ihsan ini harus berusaha kita
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita berbuat amalan kataatan,
maka perbuatan itu selalu kita niatkan untuk Allah. Sebaliknya jika
terbesit niat di hati kita untuk berbuat keburukan, maka kita tidak
mengerjakannya karena sikap ihsan yang kita miliki. Seseorang yang sikap
ihsannya kuat akan rajin berbuat kebaikan karena dia berusaha membuat
senang Allah yang selalu melihatnya. Sebaliknya dia malu berbuat
kejahatan karena dia selalu yakin Allah melihat perbuatannya. Ihsan
adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak seorang hamba.
Oleh karena itu, semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan
berusaha dengan seluruh potensi diri yang dimilikinya agar sampai pada
tingkat tersebut. Siapa pun kita, apa pun profesi kita, di mata Allah
tidak ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah
naik ke tingkat ihsan dalam seluruh amalannya. Kalau kita cermati
pembahasan di atas, untuk meraih derajat ihsan, sangat erat kaitannya
dengan benarnya pengilmuan seseorang tentang nama-nama dan sifat-sifat
Allah.
Semoga kita semua dapat mewujudkan ihsan dalam diri kita, sebelum Allah
mengambil ruh ini dari jasad kita. Semoga bermanfaat. Allahul
musta’an..
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
______________________________________________________________________________________
[1]. Hadist yang dimaksud adalah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim (102). Terdapat pula dalam Hadist Arba’in No 2.
[2]. Lihat Husuulul Ma’muul bi Syarhi Tsalaatsatil Ushuul 140-141, Syaikh Sholeh al Fauzan.
[3]. Lihat Syarh Tsalaatsatil Ushuul 95-96, Syaikh Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin.
[4]. Lihat Bahjatu Qulubil Abraar 168-169, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.
[5]. Lihat Syarh Arba’in an Nawawiyah penjelasan hadist ke 2, Syaikh Sholeh Alu Syaikh.
[6]. Husuulul Ma’muul 41.
[7]. Taisiirul Kariimir Rahmaan tafsir surat al Baqarah 195, Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama