Segala puji bagi Allah, Shalawat dan salam semoga tercurah pada Rasulullah.
“AJIMAT
ROJO BRONO: Suatu ritual khusus yang apabila Anda menjalankan dengan
benar, insyaAllah dalam waktu 3 hari Anda akan segera mendapat rizqi,
untuk menambah modal atau melunasi hutang tanpa tumbal. Mahar
kesepakatan”.
“GOMBAL
GENDERUWO: Usaha seret, atau sering tertipu, banyak saingan, untuk apa
bingung. Dengan ajimat Gombal Gendruwo bisnis akan kembali lancar,
disegani dan dapat menetralkan kekuatan jahat yang ingin merusak. Mahar
kesepakatan”.
Demikian
tawaran pelancar rizki dalam sebuah iklan yang dipasang salah satu
‘Gus’ yang memimpin sebuah “Padepokan Ilmu Hikmah dan Seni Pernafasan
Tenaga Dalam” di kota Malang.[1]
“Sarana
spiritual kerezekian yang ada di majelis kami biasa dinamakan Bukhur
Qomar. Untuk mendapatkan dayanya: tanamlah Bukhur Qomar di tempat
usaha, lalu baca Sholawat Nariyah 11 x bakda subuh, untuk lafal
Kamilatan dibaca 41 x. InsyaAllah dalam waktu tidak lama anda akan
berhasil”.
Demikan
jawaban seorang ‘Gus’ pemimpin sebuah “Majlis Taklim wa Dzikr” di
Semarang, tatkala ditanya dalam sebuah rubrik “Konsultasi Gaib” tentang
piranti pembuka rizki.[2]
Dua
contoh di atas merupakan segelintir dari puluhan bahkan mungkin
ratusan tawaran pembuka pintu rizki yang ada di media massa. Belum jika
kita mau mencermati tawaran-tawaran pelancar lainnya yang ada di media
elektronik dan dunia maya.
Yang jadi pertanyaan:
Bisakah
para pelaku penawaran di atas mendatangkan dalil dari al-Qur’an dan
hadits -yang merupakan pedoman hidup umat Islam- sebagai landasan dari
amaliah atau ajian yang mereka obral? Ataukah Islam tidak menyentuh
permasalahan rizki serta melewatkan hal penting tersebut dari
sorotannya?
Seorang
muslim yang cerdas, tentunya akan memilah dan memilih apa yang ia
baca, melihat dan mendengar, serta memfilter hal-hal yang tidak
memiliki landasan syar’i dari yang mempunyainya. Dia sadar betul bahwa
hidupnya di dunia hanyalah sekali, sehingga tidak akan sembarangan
tatkala menempuh suatu langkah atau mengambil suatu keputusan. Apalagi
jika hal itu berkaitan dengan nasibnya di akhirat kelak.
Dorongan mencari rizki kerap menyebabkan banyak orang terpental dari jalan yang lurus.
Padahal Islam, sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh dimensi
kehidupan seorang hamba, telah memberikan solusi yang begitu jelas dalam
usaha memperlancar rizki.
Di antara tuntunan yang ditawarkan untuk menggapai tujuan tersebut: memperbanyak istighfar. Dalil tuntunan tersebut firman Allah ta’ala,
“فَقُلْتُ
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاء
عَلَيْكُم مِّدْرَاراً . وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل
لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَاراً”
Artinya:
“Aku
(Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian,
sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian
hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta
anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu” (QS. Nuh: 10-12)
Ayat
di atas menjelaskan dengan gamblang bahwa di antara buah istighfar:
turunnya hujan, lancarnya rizki, banyaknya keturunan, suburnya kebun
serta mengalirnya sungai.
Karenanya, dikisahkan dalam Tafsir al-Qurthubi,
bahwa suatu hari ada orang yang mengadu kepada al-Hasan al-Bashri
tentang lamanya paceklik, maka beliaupun berkata, “Beristighfarlah
kepada Allah”. Kemudian datang lagi orang yang mengadu tentang
kemiskinan, beliaupun memberi solusi, “Beristighfarlah kepada Allah”.
Terakhir ada yang meminta agar didoakan punya anak, al-Hasan menimpali,
“Beristighfarlah kepada Allah”.
Ar-Rabi’ bin Shabih yang kebetulan hadir di situ bertanya, “Kenapa engkau menyuruh mereka semua untuk beristighfar?”.
Maka
al-Hasan al-Bashri pun menjawab, “Aku tidak mengatakan hal itu dari
diriku sendiri. Namun sungguh Allah telah berfirman dalam surat Nuh: “Aku
(Nabi Nuh) berkata (pada mereka), “Beristighfarlah kepada Rabb kalian,
sungguh Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepada kalian
hujan yang lebat dari langit. Dan Dia akan memperbanyak harta serta
anak-anakmu, juga mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu”.
Adapun dalil dari Sunnah Rasul shallallahu’alaihiwasallam yang menunjukkan bahwa memperbanyak istighfar merupakan salah satu kunci rizki, suatu hadits yang berbunyi:
“مَنْ
أَكْثَرَ مِنْ الِاسْتِغْفَارِ؛ جَعَلَ اللَّهُ لَهُ مِنْ كُلِّ هَمٍّ
فَرَجًا، وَمِنْ كُلِّ ضِيقٍ مَخْرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا
يَحْتَسِبُ”
“Barang siapa memperbanyak istighfar; niscaya Allah memberikan jalan
keluar bagi setiap kesedihannya, kelapangan untuk setiap kesempitannya
dan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka” (HR. Ahmad dari Ibnu Abbas dan sanadnya dinilai sahih oleh al-Hakim serta Ahmad Syakir).
Maka
silahkan perbanyaklah istighfar, serta tunggulah buahnya… Jika buahnya
belum terlihat juga, perbanyaklah terus istighfar dan jangan pernah
berputus asa! Di dalam setiap kesempatan, kapan dan di manapun
memungkinkan; di waktu-waktu kosong saat berada di kantor, ketika
menunggu dagangan di toko, saat menunggu burung di sawah dan lain
sebagainya..
Catatan penting:
1. Pilihlah redaksi istighfar yang ada tuntunannya dalam al-Qur’an ataupun hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan hindarilah redaksi-redaksi yang tidak ada tuntunannya. Di antara redaksi istighfar yang ada haditsnya:
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
Astaghfirullâh. HR. Muslim. [3]
أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْه
Astaghfirullôhal ‘azhîm alladzî lâ ilâha illâ huwal hayyul qoyyûm wa atûbu ilaih.
HR. Tirmidzi dan dinilai sahih oleh al-Albani.[4]
اللَّهُمَّ
أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ
وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ
شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ
بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْت
“Allôhumma anta robbî lâ ilâha illa anta kholaqtanî wa anâ ‘abduka wa
anâ ‘alâ ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’ûdzubika min syarri mâ
shona’tu, abû’u laka bini’matika ‘alayya, wa abû’u bi dzanbî, faghfirlî
fa innahu lâ yaghfirudz dzunûba illa anta”. HR. Bukhari.[5]
Redaksi terakhir ini kata Nabi shallallahu’alaihiwasallam merupakan sayyidul istighfar
atau redaksi istighfar yang paling istimewa. Menurut beliau,
fadhilahnya: barangsiapa mengucapkannya di siang hari dengan penuh
keyakinan, lalu meninggal di sore harinya maka ia akan dimasukkan ke
surga. Begitu pula jika diucapkan di malam hari dengan meyakini
maknanya, lalu ia meninggal di pagi harinya maka ia akan dimasukkan ke
surga.
2. Tidak ada hadits yang menentukan jumlah khusus tatkala mengucapkan istighfar, semisal sekian ratus, ribu atau puluh ribu. Yang
ada: perbanyaklah istighfar di mana dan kapanpun kita berada, jika
memungkinkan, tanpa dibatasi dengan jumlah sekian dan sekian, kecuali
jika memang ada tuntunan jumlahnya dari sosok sang maksum shallallahu’alaihiwasallam.
3. Hendaklah tatkala beristighfar kita menghayati maknanya sambil berusaha memenuhi konsekwensinya berupa
menghindarkan diri dari berbagai macam bentuk perbuatan maksiat. Hal
itu pernah diisyaratkan oleh al-Hasan al-Bashri tatkala berkata,
sebagaimana dinukil al-Qurthubi dalam Tafsirnya,
“استغفارنا يحتاج إلى استغفار”
“Istighfar kami membutuhkan untuk diistighfari kembali”.
Semoga Allah senantiasa melancarkan rizki kita dan menjadikannya berbarokah serta bermanfaat dunia akherat, amien.
Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
@ Kedungwuluh Purbalingga, 5 Rabi’uts Tsani 1431 H / 21 Maret 2010 M
_________________________________________________________________________________
[3] Redaksi lengkap haditsnya:
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ”. قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ.
Tsauban bercerita, “Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta ya dzal jalali wal ikrom”. Al-Walid (salah satu perawi hadits) bertanya kepada al-Auza’i, “Bagaimanakah (redaksi) istighfar beliau?”. “Astaghfirullah, astaghfirullah” jawab al-Auza’i.
عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا انْصَرَفَ مِنْ صَلَاتِهِ اسْتَغْفَرَ ثَلَاثًا وَقَالَ اللَّهُمَّ أَنْتَ السَّلَامُ وَمِنْكَ السَّلَامُ تَبَارَكْتَ ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ”. قَالَ الْوَلِيدُ فَقُلْتُ لِلْأَوْزَاعِيِّ كَيْفَ الْاسْتِغْفَارُ قَالَ تَقُولُ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ.
Tsauban bercerita, “Jika Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam selesai shalat beliau beristighfar tiga kali, lalu membaca “Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta ya dzal jalali wal ikrom”. Al-Walid (salah satu perawi hadits) bertanya kepada al-Auza’i, “Bagaimanakah (redaksi) istighfar beliau?”. “Astaghfirullah, astaghfirullah” jawab al-Auza’i.
[4] Redaksi lengkap haditsnya adalah:
“مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ”
“Barangsiapa mengucapkan “Astaghfirullahal azhim alladzi la ilaha illah huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih” niscaya akan diampuni walaupun lari dari medan perang”.
“مَنْ قَالَ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيَّ الْقَيُّومَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ غُفِرَ لَهُ وَإِنْ كَانَ فَرَّ مِنْ الزَّحْفِ”
“Barangsiapa mengucapkan “Astaghfirullahal azhim alladzi la ilaha illah huwal hayyul qoyyum wa atubu ilaih” niscaya akan diampuni walaupun lari dari medan perang”.
عَنْ
شَدَّادِ بْنِ أَوْسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: “سَيِّدُ الِاسْتِغْفَارِ: “اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ
وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ
لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا
أَنْتَ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ” إِذَا قَالَ حِينَ يُمْسِي
فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ, وَإِذَا
قَالَ حِينَ يُصْبِحُ فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ مِثْلَهُ”.
Dari Syaddad bin Aus, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda, “Istighfar yang paling istimewa adalah: “Allôhumma
anta robbî lâ ilâha illâ anta kholaqtanî wa anâ ‘abduka wa anâ ‘alâ
‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu, abû’u laka bini’matika ‘alayya wa abû’u
laka bidzanbî, faghfirlî fa innahu lâ yaghfirudz dzunûba illâ anta,
a’ûdzubika min syarri mâ shona’tu” (Ya Allah, Engkaulah Rabbku
itdak ada yang berhak disembang melainkan diriMu. Engkau telah
menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu dan aku akan setia di atas
perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku mengakui nikmat-Mu untukku dan aku
mengkaui dosaku. Maka ampunilah diriku, sesungguhnya tidak ada yang
mengampuni dosa melainkan diri-Mu. Aku memohon perlindungan dari-Mu dari
keburukan perbuatanku). Andaikan seorang hamba mengucapkannya di sore
hari kemudian ia mati maka akan masuk surga atau akan termasuk penghuni
surga. Dan jika ia mengucapkannya di pagi hari lalu meninggal maka ia
akan mendapatkan ganjaran serupa”.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama