
Setelah kami selesai shalat, ana kemudian di datangi oleh bapak tua
tersebut (katanya bapak tua itu termasuk tokoh agama di tempat itu).
Tanpa basa basi, bapak tua itu langsung bertanya ke ana dengan nada agak
keras, “Saya mau tahu, tadi kalian shalat yang jadi imam siapa dan yang
jadi makmum siapa?”
Saya menjawab, “Yang jadi imam adalah orang ini, dan saya makmumnya.”
Bapak tua itu berkata, “Kalau kamu makmum, kenapa shalatnya sejajar
dengan imam? Dimana-mana, kalau makmum itu di belakang imam atau agak
kebelakang sedikit!”
Saya berkata, “Maaf, saya belum tahu dalilnya kalau makmumnya hanya
seorang maka shalatnya harus dibelakang imam atau agak kebelakang. Bisa
kasih tahu dalilnya?”
Bapak tua itu berkata, “Oh ada dalilnya!”
Saya bertanya, “Bisa kasih tahu pak?”
Bapak tua itu menjawab, “Di Al Qur’an juga ada!”
Saya bertanya lagi, “Kalau di Al Qur’an ada, di surah apa dan ayat berapa?”
Bapak tua itu menjawab, “Saya tidak hafal surat atau ayatnya, pokoknya ada! Saya pernah dengar dari guru saya.”
Saya berkata, “Kalau ada, mungkin bapak bisa bertanya ke guru bapak
dalilnya, nanti kalau sudah ada bisa kasih tahu ke saya, saya tunggu.”
Bapak tua itu berkata, “Guru saya lulusan Mesir. Dia tahu dalilnya, nanti saya akan tanya ke dia.”
Saya berkata lagi, “Iya. Namun sebelumnya saya mau kasih tahu
beberapa dalil ke bapak (kemudian ana membawakan beberapa hadits ke
bapak tua itu tentang posisi makmum ketika shalat berjamaah apabila
makmum itu sendirian -yaitu di sebelah kanan imam dan sejajar dengan
imam).
Nah itu dalil saya, jika bapak bisa membawakan dalil juga yang shahih maka saya akan mengikuti bapak, insya Allah.”
Setelah itu kami pun berpisah. Hari demi hari ana pun menunggu jawaban dari bapak tua itu, namun tidak kunjung datang…
Dan sekarang ini, detik ini, tahukah apa yang terjadi pada bapak tua itu sekarang ini, setelah berlalu 4 atau 5 tahun?
Alhamdulillah, sekarang bapak tua itu sudah berjalan di atas manhaj
Salaf. Beliau sudah banyak mendapatkan ilmu2 yang bermanfaat. Beliau
juga sudah sering mengikuti kajian2 ilmiah bersama kami. Beliau sudah
memanjangkan jenggotnya dan memendekkan pakaiannya di atas mata kaki.
Beliau sudah banyak menghafal Al Quran dan Hadits Nabi. Beliau juga
sudah banyak mendakwahi manusia ke atas manhaj Salaf. Beliau juga sudah
meninggalkan amalan2 bid’ahnya yang dulu pernah dilakukannya. Dan beliau
juga telah menjadi imam shalat mengimami para ikhwah di Bojonggede.
Dengan dialog tersebut akhirnya bapak tua itu mulai banyak berpikir
dan semenjak itu kami sering berdialog, ditambah lagi bantuan dari
ikhwah yang banyak menasehati beliau. Untungnya beliau termasuk orang
yang mau menerima nasehat jika nasehat itu benar.
Namun, yang beliau hadapi sekarang sama halnya dengan ana ketika
menghadapi beliau dulu, yaitu sekarang beliau menghadapi orang2 yang
kritis di lingkungannya sama seperti kritisnya beliau terhadap ana dulu.
Wallahul musta’an.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang
Allah kehendaki padanya kebaikan maka Allah akan pahamkan dia dalam
masalah agama.” (HR: Bukhari).
Dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma dia berkata:
بِتُّ فِي بَيْتِ خَالَتِي مَيْمُونَةَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى أَرْبَعَ
رَكَعَاتٍ ثُمَّ نَامَ ثُمَّ قَامَ فَجِئْتُ فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ
فَجَعَلَنِي عَنْ يَمِينِهِ فَصَلَّى خَمْسَ رَكَعَاتٍ ثُمَّ صَلَّى
رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ نَامَ حَتَّى سَمِعْتُ غَطِيطَهُ أَوْ قَالَ خَطِيطَهُ
ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ
“Aku pernah menginap di rumah bibiku, Maimunah. Lalu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pergi shalat ‘isya kemudian kembali ke
rumah dan shalat sunnat empat rakaat, kemudian beliau tidur. Saat tengah
malam beliau bangun dan shalat malam, aku lalu datang untuk ikut shalat
bersama beliau dan berdiri di samping kiri beliau. Kemudian beliau
menggeserku ke sebelah kanannya, lalu beliau shalat lima rakaat,
kemudian dua rakaat, kemudian tidur hingga aku mendengar suara dengkur
beliau. Setelah itu beliau kemudian keluar untuk shalat (shubuh).” (HR.
Al-Bukhari no. 656)
Imam Al-Bukhari rahimahullah memberikan judul bab terhadap hadits di atas:
بَابُ: يَقُوْمُ عَنْ يَمِيْنِ الإمامِ بِحِذائِهِ سَواء إِذا كانا اثْنَيْنِ
“Bab: Makmum berdiri tepat di samping kanan imam jika mereka hanya shalat berdua.”
Berkata Atho’: “Imam yang sholat bersama seorang makmum shofnya
berdampingan sejajar, (makmum) tidak mundur sedikit. Dan ini telah
diriwayatkan dari Umar, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dalam kitab al-Muwatho’.”
[Lihat Taudhihul Ahkam 2/269]
Ibnu Utsaimin rohimahullah mengatakan: “Adapun yang dikatakan oleh
para ulama bahwa sepatutnya imam agak maju sedikit, maka ini adalah
pendapat yang sangat lemah, lantaran asal hukum bershof adalah sejajar,
dan tidak terdapat dalil yang menjelaskan hal ini.” [Diringkas dari
kaset rekaman Syarh Bulughul Maram oleh Ibnu Utsaimin dari hadits no.33]
Jika ada dua orang yang shalat di belakang imam, maka keduanya
berdiri bershaf di belakang imam dalam satu shaf. Dasarnya adalah hadits
Jabir radhiyallaHu ‘anHu,
“Kemudian aku datang hingga aku berdiri di samping kiri Rasulullah.
Kemudian beliau meraih tanganku dan memindahkanku hingga beliau
menempatkanku di sebelah kanannya. Kemudian datanglah Jabbar bin Shakhr.
Ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di samping kiri Rasulullah.
Maka beliau meraih kedua tangan kami lalu mendorong kami hingga kami
berdiri di belakangnya” (HR. Muslim no. 3006, Ibnu Majah no. 974 dan
Ahmad III/421)
Berarti makmum yang pertama bisa mundur ke belakang atau jika tidak
memungkinkan makmum untuk mundur, maka imamnya yang maju ke depan.
- Sesama jenis, keduanya laki-laki atau keduanya wanita. Posisi
makmum tepat persis di samping kanan imam, dan tidak bergeser sedikit ke
belakang. Ini sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha;
beliau menceritakan, “Saya pernah menginap di rumah Maimunah (bibi Ibnu
Abbas dan istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam). Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tahajud, aku pun
menyusul beliau dan berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memindahkanku ke sebelah kanan, sejajar.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
- Lain jenis, imam laki-laki dan 1 makmum wanita. Posisi makmum,
tepat di belakang imam, dan tidak perlu serong, baik ke kiri maupun ke
kanan. Dalilnya adalah hadis dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
bahwa Nabi pernah shalat bersama Anas, “Beliau memposisikan diriku di
sebelah kanan beliau, sementara ada seorang wanita yang menjadi makmum
di belakang kami.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
- Imam wanita dan para makmum wanita. Maka posisi imam sejajar dengan makmum di tengah shaf.
Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
أن عائشة أمتهن وقامت بينهن في صلاة مكتوبة
“’Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri
(sejajar) dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib.” (HR. ‘Abdur
Rozak, Ad Daruquthniy, Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho’ifkan
oleh Syaikh Al Albani, namun dia memiliki penguat dari hadits Hujairoh
binti Husain. Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
أمتنا أم سلمة في صلاة العصر قامت بيننا
“Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar
dan beliau berdiri di tengah-tengah kami.” (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi
Syaibah, Al Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya
dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan).
Wallahu a’lam.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama