Ketika voa-islam memberitakan
terkait Salafi-Wahabi, ternyata masih banyak masyarakat muslim awam
yang tidak tahu apa itu Salafi dan apa Wahabi. Dari beberapa SMS dan
jaringan Facebook (FB) yang diterima voa-islam,
mereka ingin tahu lebih jauh ihwal Salafi – Wahabi. Agar tidak
tersesat dan termakan dengan infomasi yang sepotong-sepotong, setidaknya
mengetahui peta masalahnya, maka perlu dijelaskan apa itu Salafi dan
Wahabi. Insya Allah, kami akan menjabarkannya dalam beberapa tulisan.
Seperti diketahui, fenomena kehadiran dakwah Salafiyah di Indonesia
sejak dekade 80-an hingga kini cukup mendapat perhatian khalayak
pergerakan dakwah. Sebelumnya, istilah “salafi” dan “salafiyah” sering
digunakan oleh pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang sering
disinonimkan dengan istilah “tradisional”.
Hakikatnya, tak ada persoalan dengan istilah “salafi”. Sebab, secara
harfiah berarti mengikuti kaum salaf, yakni Rasulullah Saw dan para
sahabat. Setiap Muslim tentu bertekad untuk meneladani Rasulullah Saw
dan, para sahabat dan tabi’in nya. Generasi beliau (Nabi Saw), sahabat
dan tabi’in adalah generasi terbaik umat ini. Generasi iniah yang
disebut Salaf ash-Shalih.
Di masa tabi’in dan sesudahnya, guna menghadapi pemikiran dan
keyakinan bid’ah, seperti Khawarij, Syiah, Qadariyah, Murji’ah,
Mu’tazilah dan lainnya, munculnya istilah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Istilah ini menegaskan keharusan umat Islam untuk berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, dan agar umat Islam bersatu di dalamnya.
Dalam konteks kekinian, kehadiran gerakan Salafi kontemporer
mempunyai sejumlah nilai positif dalam bentuk upaya menghidupkan sunnah,
memerangi syirik dan bid’ah, menekankan rujukan kepada para ulama yang
keilmuannya diakui oleh kaum Muslimin dan lainnya.
Secara sederhana, salafi berarti orang-orang di zaman sekarang yang
mengikuti generasi Salaf. Jadi, Salaf yang dimaksud adalah tiga generasi
islam permulaan (generasi Rasulullah saw dan para sahabat ra, generasi
Tabi’in dan gerenasi Tabi’ut Tabi’in) itulah yang kerap disebut
As-Salafus Shalih, yaitu para pendahulu umat Islam yang shalih. Istilah
Salafi merujuk pada pengertian, seseorang yang mengikuti ajaran Salafus
Shalih ra. Adapun bentuk jamak (plural) dari Salafi ialah Salafiyun atau
Salafiyin.
Menurut Am Waskito, “Kalau mau jujur, sebenarnya mayoritas umat saat
ini, mereka berpaham Salafi. Artinya, mereka yang mengikuti jejak
Salafus Shalih, yaitu Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut
tabi’in. Mereka mengikuti ajaran yang ditinggalkan oleh generasi
terbaik dalam sejarah Islam itu.”
Namun, sayang, ada sebagian orang yang ingin memonopoli dengan
mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal kebesaran Salafus Shalih.
Dengan kata lain, tidak ada yang berhak mengklaim nama Salaf (salafi),
selain diri mereka sendiri. Ada sebagian orang yang mengklaim dan
membangga-bangga dirinya Salafi, tetapi hari-harinya disibukkan untuk
menjelek-jelekkan kelompok lain. Akibatnya, diantara mereka sendiri
terlibat perselisihan tajam,ada yang berpisah jalan, terbelah,hingga
menebar kebencian.
“Sebagian kalangan yang mengaku diri sebagai Salafi sejati, tapi
memaksa orang lain mengikuti pendapat mereka dalam masalah-masalah yang
sebetulnya bersifat ijtihadiyah atau khilafiyah (dalam hal fiqih).
Kemudian yang berbeda pendapat dengannya, akan diperlakukan secara tidak
adil, bahkan dianggap musuh yang harus diwaspadai. Sebagai contoh,
persoalan isbal (celana di atas mata kaki) yang sebetulnya persoalan
khilafiyah diperdebatkan seolah permasalahan besar, ” ungkap Ustadz
Abduh Zulfidah Akaha, penulis buku “Belajar dari Akhlak Ustadz Salafi”.
AM Waskito dan Abu Abdirrahman Al Thalibi (dalam buku yang
ditulisnya) menyebut salafi yang hobi menghujat kelompok Islam lain
dengan sebutan Salafi Ekstrem. Adapun Syaikh Abu Muhammad Al-Maqdisi
menyebutnya dengan Salafi Murji’ah.
Istilah Salafi yang Diperselisihkan
Menurut Abu Abdirrahman Al Thalibi (penulis buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak), secara bahasa, kalimat “Ana Salafi! Adalah kalimat yang rancu. Jika diterjemahkan ia memiliki arti,“Aku ini Salafi! Salaf
artinya dahulu, telah lalu, atau orang jaman dulu. Salafi berarti orang
jaman dulu. Tidak mungkin orang yang hidup di jaman sekarang
mengatakan, “Aku ini orang jaman dahulu.
Kalimat Ana Salafi! Jika dikaitkan dengan As-Salafus Shalih,
mengandung makna kesombongan. Disana seseorang atau sebagian oranf
merasa diri telah menjadi pengikut terbaik Salafus Shalih. Harus
disadari bahwa Salafus Shalih adalah nenek moyang seluruh umat Islam,
bukan hanya milik golongan tertentu.
“Saya tidak risau jika tidak disebut sebagai Salafi atau Salafiyun.
Menurut saya, sebutan itu tidak penting, tetapi lebih utama adalah
pengamalan. Bahkan orang-orang di sekitar, menganggap saya sebagai
Salafi, tanpa saya memaksakan sebutan itu kepada mereka,” tulis Thalibi.
Suatu hari Al Thalibi membaca pembahasan tentang istilah Salafi.
Syaikh Al Albani mengemukakan sebuah hadits shahih, bahwa Nabi saw
berkata kepada Fatimah ra, “Sebaik-baik Salaf bagimu (wahai Fatimah)
adalah aku (Nabi sendiri). (HR Muslim).
Setelah membaca dalil ini, Al Thalibi merasa yakin Syaikh Albani
telah menemukan dalil qath’i (jelas dan tegas) yang telah membuktikan
bahwa penggunaan istilah Salafi itu sesuai syariat Islam. Hingga ketika
menulis buku DSDB, ia masih menerima sebutan Salafi.
Dalam sebuah catatan kaki, Al Thalibi mengatakan, namun demikian,
baik Fathimah maupun para sahabat, tidak ada satupun yang mengatakan
kepada keluarganya atau orang-orang yang akan mereka tinggalkan, bahwa
mereka adalah salaf bagi yang akan ditinggalkan. Bahkan, tidak ada satu
hadits pun yang menyebutkan bahwa para sahabat menyebut diri mereka
sebagai salaf ataupun Salafi.
Sekalipun penamaan “salafi” ini benar menurut kaidah bahasa, tapi
mengklaim bahwa ini adalah sunnah, adalah sesuatu yang perlu
dipertanyakan. Sebab secara tidak langsung hal ini sama saja dengan
mendeskreditkan para sahabat yang tidak menyebut diri mereka sebagai
salaf ataupun salafi. Padahal mereka adalah orang-orang terbaik umat
ini.
Setelah menulis buku DSDB 2: Menjawab Tuduhan (MT), Al Thalibi sudah tidak lagi memakai istilah Salafi, tapi memilih istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (atau
Ahlu Sunnah). Sepengetahuannya, istilah terakhir ini lebih memiliki
dasar Syar’i daripada istilah Salafi. Namun, untuk istilah Salafiyah
dengan pengertian ajaran Salafus Shalih, bukan sebutan bagi seseorang atau sekelompok orang dijaman sekarang, ia masih menerimanya.
Salafi Hakiki adalah yang seperti dgambarkan oleh Rasulullah saw:
“…bersikap tegas kepada orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang dengan
sesama mereka (sesama mukmin)…” (QS AL-Fath: 29).
Bila mengurai beberapa ayat Al-Qur’an tentang sifat-sifat para
sahabat ra, maka dalam diri para Salafus Shalih memiliki sifat-sifat
mulia berikut ini:
- Berakidah lurus, beribadah kepada Allah, dengan tidak menjadikan bagi-Nya sekutu dalam bentuk apapun.
- Mengimami Rasulullah Saw, membenarkan ajarannya, memuliakan Syari’atnya, membela kemuliannya, serta berjalan di atas cahaya petunjuknya.
- Sebagai konsekuensi tauhid ialah munculnya Al Wala’ Wal Bara’, yaitu menetapkan Wala’ (Kesetiaan) kepada orang-orang yang beriman, dan menetapkan Bara’ (anti kesetiaan) kepada orang-orang kafir.
- Mengerjakan shalat (berjamaah bagi laki-laki dewasa), menunaikan zakat, menginfakkan sebagian rezeki disaat lapang maupun sempit.
- Sikap itsar, yang mendahulukan saudara mukmin, meskipun diri sendiri kukurangan dan membutuhkan.
- Hidupnya bermanfaat bagi orang lain, ibarat pohon korma yang sellau mengeluarkan buah di setiap musim.
- Senantiasa menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk (menunaikan amar makruf nahi munkar).
- Berakhlak mulia, menjauhi kesia-siaan, memelihara kehormatan diri, menunai amanah dan jani-janji. Menahan amarah, memaafkan manusia, serta tidak melayanu perkataan orang-orang jahil.
- Senantiasa berdzikir mengingat Allah di pagi dan petang, tidak lalain dari dzikir karena kesibukan perdagangan, jual beli, pekerjaan dll.
- Menunaikan hak-hak persausaraan (ukhuwah), tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghindari prasangka buruk, tajassus (mencari-cari kesalahan), dan ghibah (bergunjing).
- Hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosa, dan lekas berhenti dari perbuatan keji.
- Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, serta tidak melemah atau lesu menghadapi segala resiko jihad di jalan Allah.
0 komentar:
Post a Comment
Terima Kasih Telah Berkunjung di khazanahislamku.blogspot.com
Berikan Komentar dengan Penuh ETIKA untuk kita Diskusikan bersama